Terkubur Selamanya.. (part 1)
Aku takut. Aku takut dia
meninggalkanku. Jangan sampai dia tau……
……
Hidup dalam satu lingkungan,
bertumbuh bersama. Kala itu, usia kami hanya terpaut 3 bulan. Tempat tinggal
kami pun hanya membutuhkan waktu 5 menit berlari untuk bisa sekedar saling
berbagi cemilan yang dibelikan oleh Ibu kami, atau sekedar memperlihatkan
jepitan kembar yang pun tiap hari kami gunakan. Keinginan kami begitu besar
setiap harinya untuk bertemu, padahal kami ada di sekolah yang sama.
Pernah aku dan dia saling
membenamkan diri dengan rutinitas masing-masing dan terpaksa tidak saling
mengingat berbulan-bulan lamanya, namun ketika Natal memberi kami kesempatan
untuk bertemu muka dengan muka, bercerita tentang banyak hal. Tentang aku, dia
dan mereka.
…….
“Tin….Tin….” bunyi klakson siapa
itu, pikirku.
“Yok… Jalan-jalan kita.” Anak
perempuan usia kurang dari 10 tahun, membawa sepeda motor, yang kala itu masih
sangat ‘hits’.
“Ga mau lha aku, marah mamakku
nanti” begitu jawabku. Jelas saja, mau jadi apa aku kalau sampai ketahuan orang
tuaku, okelah bukan bapakku, karena memang di masa kecil kami bapak bekerja di
luar kota, dan berpindah-pindah, tapi mamakku?.
“Ishh.. Takut kali kau. Sini aku
ajari. Dah permisi aku sama papa tadi”, teriaknya.
Dia memang bukan tipe wanita
dengan wajah pemberontak, bahkan cenderung berkarakter ‘protagonis’ kalau di
sinetron-sinetron atau drama korea. Saat itu, mamak juga belum pulang dari
bekerja. Okelah, aku coba.
“Bang, adek pergi dulu ya”,
ujarku. Kami memang diwajibkan untuk permisi bila keluar kemanapun kami pergi
kepada saudara yang lebih tua.
“Mau ke mana kau”, tanya abangku yang
duduk sambil menonton dengan sapu di tangan sebagai pengganti remote tv.
“Mau pergi sama Didi. Pergi ya
bang.” kataku. “Jangan sore kali kau pulang ya.” kata abangku.
Dengan sandal jepit busuk, aku
berlari kencang, takut kalau abangku berubah pikiran.
Dua anak perempuan di bawah 10
tahun, membawa sepeda motor. Masa itu, lingkungan kami belum sepadat ini. Kanan
kiri jalan masih ditumbuhi pohon rambutan, pohon boni-boni dan yang lainnya.
Mungkin, bila aku yang sekarang melihat ada anak SD membawa sepeda motor, aku
pasti akan mengganggap orangtua anak itu tidak menyayangi anak itu. Tapi bila
aku melihat dia saat itu dengan posisiku saat ini, ahh… sepertinya itu adalah
hal yang dapat dimaklumi.
……
Aku merindukannya.
Aku tau Di. Aku sangat tau. Ingin
rasanya aku meneriakkan itu di telinganya, yang bahkan tidak lagi dapat
mendengar. Aku hanya tidak mengerti, kenapa kau harus mengambil jalan sulit
ini. Aku hanya tidak cukup mampu mempovokasimu agar bercerita denganku, apa
yang kau rasakan.
Maafkan aku Di. Belum bisa
menjadi sahabat yang selalu ada untukmu.
Komentar
Posting Komentar